Ciptagelar : Ketika Listrik Mengalir, Tapi Adat Tetap Menyala
Font Terkecil
Font Terbesar
Di tengah hutan Gunung Halimun, jauh dari gemerlap kota dan bisingnya notifikasi digital, ada satu desa yang memilih untuk tidak sibuk mengejar dunia. Bukan karena mereka tertinggal, tapi karena mereka tahu ke mana harus melangkah. Nama desa itu: Ciptagelar.
Mereka tidak alergi pada teknologi. Mereka punya listrik dari mikrohidro. Mereka menonton siaran dari stasiun TV lokal buatan sendiri. Mereka punya pemancar radio untuk menyebar kabar seputar panen, budaya, hingga kampanye kesehatan. Tapi jangan salah: laptop tidak lebih tinggi derajatnya daripada lumbung padi. Dan sinyal bukan raja, adat tetap pemilik rumah.
Mereka Menanam Sebelum Dunia Pikirkan “Organik”
Ciptagelar tidak menanam padi karena tren ramah lingkungan. Mereka menanam karena itu perintah leluhur—dan sejatinya juga perintah langit :
وَكُلُوا۟ وَٱشْرَبُوا۟ وَلَا تُسْرِفُوا۟ ۚ إِنَّهُۥ لَا يُحِبُّ ٱلْمُسْرِفِينَ
"Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan." (QS. Al-A'raf: 31)
Mereka panen setahun sekali. Bukan karena malas, tapi karena tahu: tanah bukan mesin pencetak uang. Padi disimpan di leuit, tidak dijual ke pasar. Karena makanan bukan untuk dipamerkan, tapi untuk dijaga sebagai amanah.
Mereka Melek Teknologi, Tapi Tidak Buta Nilai
Di Ciptagelar, listrik mengalir bukan dari PLN, tapi dari sungai yang mereka atur sendiri. Mikrohidro dan panel surya menjadi sumber daya untuk TV komunitas CIGA TV dan Radio Swara Ciptagelar. Mereka bisa merekam ritual adat, menyiarkan informasi pertanian, hingga menonton video edukasi. Tapi semua itu tidak menggeser nilai.
إِنَّ ٱلسَّمْعَ وَٱلْبَصَرَ وَٱلْفُؤَادَ كُلُّ أُو۟لَـٰٓئِكَ كَانَ عَنْهُۥ مَسْـُٔولًۭا
"Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati—semuanya akan dimintai pertanggungjawaban." (QS. Al-Isra’: 36)
Teknologi di Ciptagelar bukan tuan rumah. Ia tamu yang tahu sopan santun. Tidak semua tren diikuti. Tidak semua kemudahan diterima. Yang mereka butuhkan adalah fungsi, bukan sensasi.
Mereka Tak Hafal Ayat Pun Bisa Menjalankannya
Mereka mungkin tak menghafal dalil panjang. Tapi mereka mempraktikkan ruh Islam dalam bentuk paling mendasar : Syukur. Tawakal. Amanah.
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ النَّاسُ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
"Seorang Muslim adalah yang orang lain selamat dari lisan dan tangannya." (HR. Bukhari & Muslim)
Ciptagelar tidak mendefinisikan Islam dari simbol. Tapi dari sikap. Tidak banyak jargon dakwah. Tapi banyak gotong-royong. Tidak sibuk mendebat dalil. Tapi taat dalam hidup yang sederhana.
Kita yang Modern, Tapi Kadang Takut Sunyi
Sementara kita panik saat baterai tinggal 10%, mereka tenang karena pelita mereka tidak pernah padam.
Sementara kita tergantung pada sinyal, mereka hanya perlu sinyal dari langit: hujan yang cukup, matahari yang hangat, bumi yang subur. Ciptagelar seakan berkata pada kita: “Silakan modern. Tapi jangan hilang arah, Silakan canggih. Tapi tetap rendah hati.”
Penutup : Tradisi Bukan Masa Lalu, Tapi Jalan Pulang
Kita mungkin tak bisa tinggal di Ciptagelar. Tapi kita bisa meniru keberanian mereka untuk hidup dengan tenang di tengah gemuruh zaman. Kita bisa belajar bahwa beradab lebih penting daripada sekadar berteknologi. Bahwa kecanggihan tanpa kesadaran hanya akan mempercepat kehampaan. Karena bukan teknologi yang salah.Yang perlu ditata ulang adalah : Untuk apa ia kita pakai, dan ke mana ia mengarahkan jiwa kita.