Terbaru
PASANG IKLAN DISINI ?
Hubungi Kami

Satu Kata, Seribu Dampak : Jejak Fatwa yang Terluka



Pada suatu masa ketika kekuasaan bukan hanya ditentukan oleh pedang, tetapi juga oleh pena, seorang ulama besar duduk di hadapan kenyataan yang pelik. Kota Mardin—perbatasan dunia Islam dan kekuasaan Mongol—membawa pertanyaan yang belum pernah ditanyakan sebelumnya: Apakah ia wilayah damai atau wilayah perang?

Pertanyaan itu datang bukan dari ruang debat akademik, tetapi dari realitas umat yang terombang-ambing. Maka, para penanya—dengan cemas, dengan harap—menghadap Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, meminta petunjuk. Ia tak menjawab dengan emosi. Ia tak menunjuk tanpa dalil. Ia menulis dengan nurani :

"وماردين نصفها دار سلم ونصفها دار حرب، ويُعامل الكافر فيها بما يستحقه"

“Mardin adalah setengah wilayah damai dan setengah wilayah perang, dan orang kafir di dalamnya diperlakukan sesuai dengan apa yang ia pantas dapatkan.”

Bukan seruan jihad. Bukan vonis kolektif. Tapi keadilan yang penuh pertimbangan—sebagaimana lazim dalam syariat yang menempatkan timbangan hikmah di atas gejolak. Tapi sejarah tak selalu menjaga dengan tangan yang bersih. Berabad kemudian, saat karya itu dicetak ulang, satu kata tergelincir—mungkin karena kelalaian, mungkin karena kesengajaan :

"ويُقاتل الكافر فيها بما يستحقه"

“Dan orang kafir di dalamnya diperangi sesuai dengan apa yang ia pantas dapatkan.”
Maka fatwa yang sejatinya rapi, utuh, dan penuh kebijaksanaan berubah menjadi dalih bagi pedang.

Saat Huruf Menyulut Api

Dari satu kata yang meleset, narasi pun menjalar. Kelompok-kelompok ekstrem menggenggam potongan itu seperti wahyu. Mereka tempelkan pada selebaran, mereka gaungkan dalam retorika. Yang mereka butuhkan bukan keutuhan, tapi pembenaran. Lebih mengerikan lagi, dari balik layar yang lebih sunyi, ada pihak-pihak yang berbisik: “Biarkan mereka membaca potongan itu. Biarkan mereka membenci. Biarkan mereka saling memerangi.” Dan umat pun tercerai. Tidak karena senjata dari luar. Tapi karena dusta dari dalam.

Sejarah Bertanya: Siapa yang Akan Menjaga?

Hari ini, ulama kontemporer dan penjaga naskah kembali menyusun kebenaran. Mereka telusuri manuskrip, bandingkan versi, dan berseru :

Ini bukan ajakan perang. Ini jawaban terhadap kondisi khusus. Ini bukan vonis global, tapi fatwa kontekstual.

Fatwa Mardin lahir dari pertanyaan. Dan jawabannya pun bukan absolut, melainkan penuh nuansa. Ia tidak boleh dipotong. Tidak boleh didekap semaunya.

Akhirnya...

Apa yang tersisa dari kisah ini bukan sekadar sejarah salah cetak. Tapi pelajaran bahwa setiap huruf bisa menjadi kebenaran atau kebinasaan. Kita mewarisi ilmu—tapi juga tanggung jawab. Tugas kita bukan hanya membaca, tapi menjaga. Agar kata-kata tak kembali tergelincir. Agar fatwa tak jadi fitnah. Dan agar sejarah tak menulis bahwa kita diam saat satu huruf menghancurkan berjuta jiwa.
PASANG IKLAN DISINI ?
Hubungi Kami
PASANG IKLAN DISINI ?
Hubungi Kami
PASANG IKLAN DISINI ?
Hubungi Kami